Realitas Kesantunan Berbahasa Gen Z Minangkabau di Era Digital, Bikin Mahasiswa Unand Lakukan Hal ini
Nilai norma kehidupan dan aturan dalam berbahasa, terutama dalam penerapan kato nan ampek, dapat tertanam dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.--wikipedia
BACA JUGA:5 Parfum Andalan Starboy untuk Anak Muda yang Suka Aroma Manis, Wanginya Tahan Lama dan Memikat
Ikan terkilat jala tiba
Sudah tentu jantan betinanya"
Contoh penerapan Kato Malereang adalah ketika seseorang berbicara kepada figur otoritas seperti penghulu atau pemimpin suku.
Sebagai contoh, ungkapan "ambo indak dapek pai jo angku" digunakan untuk menyampaikan ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi otoritas.
BACA JUGA:TOP 8 PTN Terbaik di Indonesia Versi QS Sustainability Rankings 2024, UI Bukan Nomor 1 Lagi
Dilihat dari segi linguistik, Kato Malereang sangat terkait dengan faktor budaya dan norma-norma sosial yang mengikat masyarakat Minangkabau.
Norma-norma interaksi ini dianggap sebagai aturan yang harus dipatuhi dan diikuti oleh para penutur bahasa Minangkabau.
Dilihat dari unsur kebahasaannya, kato nan ampek erat hubungannya dengan faktor sosial budaya dan aturan-aturan yang mengikat masyarakat sebagaimana dipahami oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Norma-norma interaksi ini umumnya valid, objektif, aturan mengikat yang harus dipatuhi dan diikuti oleh pengguna bahasa itu sendiri.
BACA JUGA:Battle Review Oppo Find X7 Ultra Vs Vivo X100 Pro, Mana yang Lebih Worth It?
Memperlakukan orang dengan bahasa sesuai dengan kemampuannya merupakan bentuk penghargaan yang pada gilirannya menciptakan hubungan sosial yang langgeng satu sama lain.
Ada beberapa ketepatan yang harus ada dalam penerapan etika berbahasa di Minangkabau yang mendasari penggunaan langgam kato dari kato mandaki, kato manurun, kato malereang, dan kato mandata.
Berikut contohnya.
1. Penggunaan Kato mandaki, adalah bahasa yang digunakan oleh orang yang usianya lebih muda daripada lawan bicaranya.