BACA JUGA:Kaya Situs Megalitik! Begini Kata 4 Pakar di Seminar Kajian Koleksi Museum Negeri Sumsel
BACA JUGA:Museum Negeri Sumsel Telusuri Jejak Marga, SMB IV Dorong Pembuatan Perda, ini Pendapat 4 Akademisi
Saat sedang menyampaikan materi, saya sudah tidak sabar ingin melihat dan memeriksa kondisi objektif naskahnya secara langsung.
Karenanya, ketika selesai acara seminar saya langsung menuju ruang pak Kepala Museum tempat naskah Alquran diletakkan.
Bersama dengan Kepala Museum dan para zuriat, saya membolak-balik lembaran, mengamati, dan memeriksa naskah mulai dari kulit luar (cover) lembaran-lembaran bagian dalam sampai dengan kolofonnya saya baca untuk sementara waktu.
Ketika membaca kolofonnya, saya belum berani berkomentar banyak, masih banyak yang harus saya telaah.
BACA JUGA:Beri Pemahaman Sejarah dan Budaya Ke Masyarakat, Museum Negeri Sumsel Gelar Seminar Hasil Kajian
BACA JUGA:6 Tahun Berturut-Turut Gelar Sang Juara, Museum Negeri Sumsel Semakin Dicintai Gen Z
Dalam kolofonnya tertulis beberapa kata, huruf, dan angka yang harus ditelaah secara akademik.
Saya titip pesan ke teman jurnalis yang turut serta menyaksikan untuk tidak buru-buru diekspos dulu ke publik.
Informasi yang ada pada kolofonnya yang ditulis dalam Bahasa Arab antara lain berisi tentang: pertama, bahwa nama penulisnya adalah Abdurrahman.
Tapi ayahnya tertulis Mutibi.
BACA JUGA:Museum Masuk Desa, Cara Cerdas Pemprov Sumsel Lestarikan Warisan Sejarah dan Budaya
BACA JUGA:LUAR BIASA! Di Puncak Hari Kearsipan Nasional, Museum AK Gani Palembang Terima Penghargaan
Sambil saya membaca nama dan bin penulis, salah satu zuriat yang ikut bersama saya membacanya menyebutkan bahwa bin atau ayah Kyai Delamat bernama Saparudin Rungkat bin Abusalam.
Mestinya, tertulis di kolofonnya ini adalah Abdurrahman bin Saparudin Rungkat bin Abusalam.