https://palpres.bacakoran.co/

Museum Negeri Sumsel Telusuri Jejak Marga, SMB IV Dorong Pembuatan Perda, ini Pendapat 4 Akademisi

Kepala UPTD Museum Negeri Sumsel Chandra Amprayadi dan Sultan Palembang Darussalam SMB IV Jayo Wikramo RM Fauwaz Diradja berfoto bersama narasumber dan peserta Seminar Menelusuri Jejak Marga 2.--Alhadi/koranpalpres.com

BACA JUGA:Menyala! ‘Kartu Immunity’ Jadi Rebutan Para Peserta Sang Juara 2024

Sebagaimana ruang inovasi kedua yang baru, dia meminta pengiriman; dan dia mungkin terkesan memiliki dokumen Timur di hadapannya. 

Kodifikasi ketiga, lagi-lagi disebut Simboer Tjahaja, dari sejumlah artikel yang tidak diketahui.

Sekira tahun 1866, bentuk kodifikasi hukum adat yang dilakukan oleh Walland ini menaruh kecurigaan dan menjadi sorotan serius pejabat Belanda, terutama gubernur yang baru bertugas dan diangkat kala itu, yaitu Meijer. 

Karena curiga, maka Gubernur Meijer memanggil Walland untuk dimintai keterangan dan penjelasan. 

BACA JUGA:Suku-suku di Provinsi Sumatera Utara: Wilayah Tano Batak, Tanah Melayu Deli, dan Tano Niha

Meijer beranggapan bahwa Walland telah melakukan tugas kodifikasi yang tidak semestinya, bahkan mungkin sewenang-wenang.

Ada indikasi Welland telah merusak adat yang sebenarnya, bahkan mungkin telah melakukan perubahan dan memalsukannya. 

Kecurigaan dan pertanyaan seperti ini juga terjadi pada pejabat Belanda lainnya, yaitu, van Royen. 

JW van Royen mempertanyakan kekeliruan ini dan akhirnya sekitar tahun 1927, ia menulis sebuah artikel yang menguraikan berbagai hal yang menyimpang dari sumber hukum tentang hukum ini. 

BACA JUGA:Mei Bulan Menggambar Nasional 2024, Usulan Budayawan Sumsel ini Bikin Pelukis Tersenyum Lebar

Pada Februari 1867, atas panggilan dan pertanyaan Gubernur Meijer, Walland memberikan tanggapan dan jawaban dengan mengatakan bahwa pada tahun 1862 dan 1864 dia telah membuat kodifikasi tersebut sebagai tugas dari pemerintah dan tidak pernah memiliki tanggapan apapun lagi dari mereka. 

Karena tidak pernah mandapat tanggapan yang serius dari pemerintah Hindia Belanda, maka Walland perlu berkali-kali membuat kodifikasi. 

Sementara itu, dia mendapatkan desakan dan permintaan untuk mengodifikasi adat menjadi undang-undang dari salah seorang kepala negeri setempat yang selalu mengikuti kemanapun Walland pergi. 

Sampai dengan beberapa tahun kemudian, tahun 1894 muncul seorang akademisi, peneliti, dan pakar hukum Belanda, van den Berg membuat tulisan dan pernyataan yang sangat tegas bahwa Undang-Undang Simbur Cahaya yang dikodifikasi oleh van den Bosche adalah undang-undang yang memuat tentang sistem peradatan untuk masyarakat Palembang (Sumatera Selatan sekarang). 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan