Dari Alam Liar ke Pusat Pelatihan, Puskass Hadirkan Buku Gajah Palembang: Sejarah, Akar Konflik dan Solusinya
Puskass segera melaunching sekaligus menggelar diskusi Buku Gajah Palembang: Sejarah, Akar Konflik dan Solusinya.--kolase koranpalpres.com
Pada wilayah-wilayah marga yang luas di masa itu, gajah diberi domestifikasi pada ruang-ruang rimba atau hutan larangan marga.
Melalui rimba larangan, hutan tidak dijamah, dan gajah pun mendapat tempat hidup dan berkembang biak yang baik di sisi pemukiman masyarakat marga.
Gajah disakralkan sebagai fauna yang tidak boleh diganggu.
Dalam aturan marga, Oendang-Oendang Simboer Tjahaja, yang berlaku di marga-marga wilayah uluan Kesultanan Palembang, terdapat aturan jelas untuk tidak berburu gajah.
BACA JUGA:7 Provinsi Penghasil Pasir Besi Terbanyak di Indonesia, Ada Sumatera Tapi Bukan Sumsel, Bisa Tebak?
BACA JUGA:Main Game Hasilkan Cuan! Aplikasi Game Ini Penghasil Saldo DANA Tercepat 2024
Jika ada gajah mati, seorang penduduk marga, wajib melapor pada pemimpin marga, pesirah.
Lalu gadingnya akan dibawa ke marga, di mana jika dijual ada persentase bagi hasil, 50 persen untuk penemu, 30 persen untuk seluruh penduduk marga dan 20 persen menjadi kas marga.
Aturan itu, terus bertahan hingga di masa Pemerintah Kolonial Belanda.
Bahkan, Pemerintah Kolonial Belanda memperkuat aturan marga dengan membuat ordonansi, aturan dalam melindungi satwa liar di hutan-hutan marga.
BACA JUGA:Raih Diskon Maksimal! 7 Kode Promo Gojek Terbaik 22 Agustus 2024, Segera Gunakan Sekarang!
Berbagai aturan itu, terutama melindungi satwa liar dari perburuan di rimba larangan, termasuk gajah, tertulis dan diatur dengan baik sejak tahun 1909 hingga 1942.
Sehingga, tidak saja rimba larangan marga, namun berbagai satwa liar, termasuk gajah, tidak dijamah dan tetap terpeliharakan dengan baik.