Pendulumnya selanjutnya mengalami perubahan sedemikian rupa.
BACA JUGA:Palembang Ekspres Goes to Campus, Strategi Jitu Tingkatkan Literasi Digital di Kalangan Mahasiswa!
BACA JUGA:Sama-sama Lulusan S3, Ini Perbedaan Gelar PhD dan Doktor
Kehidupan gajah di hutan tropis rimba larangan hutan hak ulayat marga-marga di Keresidenan Palembang justru berubah dashyat manakala memasuki masa pasca-kolonial.
Atas nama “kebutuhan pembangunan”, baik daerah maupun nasional, hutan hak ulayat marga dipindahkan menjadi hutan hak ulayat negara.
Penjamahan pada hutan tropis marga, dengan menggerus hutan marga terjadi sejak tahun 1970, di bawah pemberian konsensi, Hak Penguasahan Hutan (HPH).
Para pengusaha, baik “kakap” maupun “teri” diberi wewenang untuk anak buahnya menebang kayu-kayu berharga dengan usia lebih jutaan tahun di hutan tropis hampir di seluruh wilayah Sumatera Selatan.
BACA JUGA:Padati Pusri Argo Edu Park, Puluhan Anak TK IGM Lakukan Kegiatan Menyenangkan ini, Bisa Tebak?
Bukan saja pepohonan, berbagai satwa liar dalam hutan-hutan lebat tersebut, kocar-kacir dibuatnya, terdesak mencari hutan-hutan tersisa lainnya.
Bersamaan dengan itu, hutan lebat yang menggundul dan berubah menjadi lahan gambut.
Pada tahun 1980 hingga 1984 yang berlanjut terus hingga 1990-an, di atas bekas hutan tropis, didatangkan para transmigran, untuk berusaha “keras” menghadirkan pertanian.
Mereka diberi hak bertani luar biasa pada lahan gambut yang dijadikan pertanian sawah pasang-surut.
BACA JUGA:33 Kampus dengan Jurusan Teknik Terbaik di Indonesia Versi SIR 2024, Unsri Nomor Berapa?
Atas nama swasembada beras dan demi memunculkan peningkatan produksi padi di kabupaten dan provinsi dalam bentuk kedaulatan pangan, jutaan percetakan lahan gambut diusahakan oleh para transmigran.