Dua narasi awal, dari temuan megalitik Pasemah dan Kedatuan Sriwijaya, relasi manusia “memuliakan” gajah dengan men-domestifikasi-nya di samping kehidupan manusia adalah narasi kuat yang mengisyarakan kepada kita.
Gajah sudah diberi tempat pada sisi kehidupan manusia.
Gajah bukan lawan, tetapi kawan dalam kehidupan masyarakat di waktu itu.
BACA JUGA:Menjelang Lengser, Jokowi Akan Resmikan Sejumlah Ruas Jalan Tol, Mayoritas JTTS
BACA JUGA:Kantor KPU Ogan Ilir 'Diserang' Massa, 2 Demonstran Jadi Korban
Gajah dimuliakan sebagai hewan yang mampu memberi bantuan dan pertolongan pada manusia.
Manusia dan gajah membangun peradaban luar biasa di waktu itu.
Peradaban tersebut dituliskan dan diceritakan oleh berbagai sumber asing.
Domestifikasi manusia pada gajah, terus berlanjut di masa Kesultanan Palembang.
BACA JUGA:Bisa Dapat Cuan! Klik Link DANA Kaget, Intip Cara Dan Syaratnya Disini
Pada wilayah-wilayah marga yang luas di masa itu, gajah diberi domestifikasi pada ruang-ruang rimba atau hutan larangan marga.
Melalui rimba larangan, hutan tidak dijamah, dan gajah pun mendapat tempat hidup dan berkembang biak yang baik di sisi pemukiman masyarakat marga.
Gajah disakralkan sebagai fauna yang tidak boleh diganggu.
Dalam aturan marga, Oendang-Oendang Simboer Tjahaja, yang berlaku di marga-marga wilayah uluan Kesultanan Palembang, terdapat aturan jelas untuk tidak berburu gajah.
BACA JUGA:7 Provinsi Penghasil Pasir Besi Terbanyak di Indonesia, Ada Sumatera Tapi Bukan Sumsel, Bisa Tebak?