BACA JUGA:50 ASN UIN Raden Fatah Palembang Terima Tanda Kehormatan Satya Lencana, Berikut Daftar Namanya!
Selain itu, gajah-gajah Palembang di Air Sugihan, koridornya semakin terjepit, manakala hadir berbagai perusahan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di sana.
Tidak saja daerah “edar”, pakan mereka juga mulai tak cukup memenuhi kebutuhan “besar” sang gajah Palembang di Air Sugihan.
Lelehan air mata sang gajah, ketika acapkali masuk ke pemukiman untuk “sekedar” mengisi perut kosongnya.
Dihadapi dengan berbagai tindak “enemifikasi”, gajah dianggap musuh, lawan, bahkan hewan liar nan tak berguna.
BACA JUGA:Siswa dan Guru TK Nusa Indah Lahat Adu Ketangkasan Ikut Lomba Peringati 17 Agustus, Ini Keseruannya
“Si Mbah” tak lagi dipanggil hormat, kentungan tak lagi dibunyikan, obor pun sudah jarang dinyalakan.
Lalu “mercon” dibakar dan disulut, tak jarang langsung diarahkan ke badan para “si Mbah” dalam mengusir “sang enemi”.
Akar konflik manusia dan gajah tercipta ketika perspektif manusia yang berhadapan dengannya berubah total.
Perspektif domestifikasi dengan memasukkan gajah yang hidup sebagai “satwa liar” untuk berdampingan dan dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia tak terdengung lagi.
BACA JUGA:Ini Prodi dan Fakultasnya yang Paling Susah Ditembus di Unpad
Domestifikasi dengan mutualistik relasi manusia dan gajah yang berlangsung di masa lampau, saat ini tidak terlihat jelas lagi.
Penjinakan dan penaklukan gajah dalam bentuk “penampungan” di area suaka margasatwa, bukanlah bentuk domestifikasi itu.
Namun dalam konsep domestifikasi itu gajah “harus” tetap diberi dan memiliki “rumah” di alam liar, baik dalam lingkup manusia, seperti masa Sriwijaya atau di sisi lain mukim manusia, seperti di masa marga.