BACA JUGA:Main Game Hasilkan Cuan! Aplikasi Game Ini Penghasil Saldo DANA Tercepat 2024
Jika ada gajah mati, seorang penduduk marga, wajib melapor pada pemimpin marga, pesirah.
Lalu gadingnya akan dibawa ke marga, di mana jika dijual ada persentase bagi hasil, 50 persen untuk penemu, 30 persen untuk seluruh penduduk marga dan 20 persen menjadi kas marga.
Aturan itu, terus bertahan hingga di masa Pemerintah Kolonial Belanda.
Bahkan, Pemerintah Kolonial Belanda memperkuat aturan marga dengan membuat ordonansi, aturan dalam melindungi satwa liar di hutan-hutan marga.
BACA JUGA:Raih Diskon Maksimal! 7 Kode Promo Gojek Terbaik 22 Agustus 2024, Segera Gunakan Sekarang!
Berbagai aturan itu, terutama melindungi satwa liar dari perburuan di rimba larangan, termasuk gajah, tertulis dan diatur dengan baik sejak tahun 1909 hingga 1942.
Sehingga, tidak saja rimba larangan marga, namun berbagai satwa liar, termasuk gajah, tidak dijamah dan tetap terpeliharakan dengan baik.
Berbagai pohon-pohon berharga di dalam hutan tropis dalam rimba larangan tumbuh subur dan tinggi.
Dalam hal ini, hutan tropis Air Sugihan serta seluruh pantai timur Sumatera berkembang laksana “hutan amazon” di benua Amerika bagi Keresidenan Palembang di waktu itu.
BACA JUGA:Polwan Polda Sumsel Gelar Bakti Sosial di Pinggiran Sungai Musi, Ini Sasarannya
Gajah di-domestifikasi dan tidak diganggu dalam hutan tropis tersebut.
Sehingga dapat dikatakan hutan-hutan tropis dalam rimba larangan marga-marga di uluan Keresidenan Palembang menjadi rumah besar gajah Sumatera di Palembang.
Namun domestifikasi gajah sebagai satwa liar yang berdampingan hidup dengan damai, baik dalam ruang lingkup manusia, maupun disisi pemukimannya pada masa lalu tersebut.