Hutan lindung ini harus dijaga dengan komitmen tinggi, bukan berkurang tiap tahun, walau atas nama “peningkatan APBD” kabupaten atau provinsi.
Namun jika gajah-gajah Palembang di Air Sugihan, dihadapi tidak dengan perspektif “domestifikasi”, tetapi dipandang “enemifikasi”, musuh nyata dan terbesar manusia yang hidup terdekat darinya.
Serta tak ada perlindungan dari pemerintah daerah dalam menjaga hutan lindung di ujung pantai timur Sumatera, maka “rumah” hutan lindung tersebut akan menyusut, perlahan menghilang.
BACA JUGA:Bawaslu Ngampus: Kolaborasi UIN Raden Fatah dan Bawaslu Sukseskan Pilkada Serentak 2024
BACA JUGA:Jangan Salah Pilih! Ini Perbedaan Kuliah D3, D4 dan S1, Calon Mahasiswa Harus Tau
Sehingga dapat dipastikan gajah-gajah Palembang di Air Sugihan akan kehilangan kenyamanan di “benteng” domestifikasi terakhir yang dimilikinya.
Oleh sebabnya, gajah akan kembali dengan ke-luarbiasa-an ingatan dalam lorong-lorong koridor “lama-nya”, seperti yang terjadi saat ini.
Realitanya, gajah secara teoritis sangat menghindari untuk bertemu muka langsung dengan manusia.
Sehingga gajah sebenarnya, tak mau masuk dalam lingkup hidup manusia.
BACA JUGA:Alumni Jurusan Ini Paling Dicari Pertamina, Siap-siap Bergaji Fantastis!
BACA JUGA:Wujudkan Kebijakan Berkualitas, Langkah Ini Ditempuh UIGM Palembang Bersama Badan Keahlian DPR RI
Itu terlihat tatkala pada masa marga di Sumatera Selatan.
Namun, gajah dalam keadaan terpaksa “sesungguh” akan masuk ke wilayah pemukiman manusia, untuk “hanya sekedar” mengurangi rasa laparnya, sambil memberi pesan, akan kurangnya pangan di rumah alami miliknya.
Pada akhir tulisan epilog ini, kami ingin mengatakan mari kita ikut memanggul beban bersama dalam memberi ruang domestifikasi “rumah” di alam liar gajah.
Agar gajah tetap nyaman berdampingan hidup dengan manusia.
BACA JUGA:Ini Cara Agar Bisa Lolos Penilaian Jadi Siswa Eligible di SNBP 2025