Karena curiga, maka Gubernur Meijer memanggil Walland untuk dimintai keterangan dan penjelasan.
BACA JUGA:Suku-suku di Provinsi Sumatera Utara: Wilayah Tano Batak, Tanah Melayu Deli, dan Tano Niha
Meijer beranggapan bahwa Walland telah melakukan tugas kodifikasi yang tidak semestinya, bahkan mungkin sewenang-wenang.
Ada indikasi Welland telah merusak adat yang sebenarnya, bahkan mungkin telah melakukan perubahan dan memalsukannya.
Kecurigaan dan pertanyaan seperti ini juga terjadi pada pejabat Belanda lainnya, yaitu, van Royen.
JW van Royen mempertanyakan kekeliruan ini dan akhirnya sekitar tahun 1927, ia menulis sebuah artikel yang menguraikan berbagai hal yang menyimpang dari sumber hukum tentang hukum ini.
BACA JUGA:Mei Bulan Menggambar Nasional 2024, Usulan Budayawan Sumsel ini Bikin Pelukis Tersenyum Lebar
Pada Februari 1867, atas panggilan dan pertanyaan Gubernur Meijer, Walland memberikan tanggapan dan jawaban dengan mengatakan bahwa pada tahun 1862 dan 1864 dia telah membuat kodifikasi tersebut sebagai tugas dari pemerintah dan tidak pernah memiliki tanggapan apapun lagi dari mereka.
Karena tidak pernah mandapat tanggapan yang serius dari pemerintah Hindia Belanda, maka Walland perlu berkali-kali membuat kodifikasi.
Sementara itu, dia mendapatkan desakan dan permintaan untuk mengodifikasi adat menjadi undang-undang dari salah seorang kepala negeri setempat yang selalu mengikuti kemanapun Walland pergi.
Sampai dengan beberapa tahun kemudian, tahun 1894 muncul seorang akademisi, peneliti, dan pakar hukum Belanda, van den Berg membuat tulisan dan pernyataan yang sangat tegas bahwa Undang-Undang Simbur Cahaya yang dikodifikasi oleh van den Bosche adalah undang-undang yang memuat tentang sistem peradatan untuk masyarakat Palembang (Sumatera Selatan sekarang).
BACA JUGA:Suku-suku di Provinsi Sumatera Barat: Tanah Asal Suku Minangkabau dan Suku Mentawai
Meskipun pada beberapa bagian dianggap masih belum sepenuhnya menjawab terhadap dugaan penyimpangan dan manipulasi adat yang dikumpulkan.
Sumber penyusunan UU Simbur Cahaya untuk masyarakat Palembang saat itu memang masih beragam hukum adat yang telah disusun dan ditulis, menggunakan istilah piagam dan istilah undang-undang.
Keduanya merupakan sumber terbentuknya UU Simbur Cahaya yang kita ketahui saat ini.
UU Simbur Cahaya bersumber dari beberapa hukum adat di daerah Palembang. berasal dari Undang-Undang Ratu Sinuhun dan Cinde Balang.