Khususnya dengan menerapkan kembali Kato Nan Ampek dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya ini sangat penting untuk memastikan bahwa warisan budaya yang kaya dan berharga ini tidak hilang ditelan zaman.
BACA JUGA:Kian Marak! Mahasiswa Universitas Andalas Beri Solusi Jitu Atasi Perilaku Seksual Menyimpang
Budaya Minang
Menurut Koentjaraningrat (1976: 342-343), kata "budaya" berasal dari bahasa Sanskerta "budhayah", yang merupakan bentuk jamak dari "budhi" yang berarti "budi" atau "akal".
Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai "hal-hal yang berkaitan dengan akal".
Sementara itu, kata "budaya" juga merupakan perkembangan dari "budi daya", yang berarti "daya dari budi" dan mencakup cipta, karsa, dan rasa.
Nilai-nilai budaya adalah konsep tentang sesuatu yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam kehidupan.
Nilai-nilai ini berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan orientasi kehidupan bagi masyarakat yang bersangkutan (Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 1976: 32).
Menurut Ibrahim Dt. Sanggoeno Dirajo (2009), Minangkabau (Minang) adalah kelompok etnis di Indonesia yang menggunakan bahasa dan menjunjung tinggi adat Minangkabau.
Wilayah kebudayaan Minang mencakup Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, pantai barat Sumatera Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.
BACA JUGA:Perbedaan Bahasa dan Budaya Picu Bullying di Lingkungan Kampus, Kok Bisa? Ini Kata Mahasiswa Unand
Prinsip adat Minangkabau dirangkum dalam pernyataan "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Alquran), yang berarti bahwa adat berlandaskan ajaran Islam (Navis, 1984).
Ini juga berarti bahwa jika seseorang tidak beragama Islam, maka ia tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat Minangkabau.
Adat dan budaya Minangkabau memiliki falsafah hidup yang dikenal sebagai adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.